SHARE

carapandang.com | Nafik Muthohirin

CARAPANDANG.COM - Seorang teman bercerita kepada saya, “bagaimana nasib pemilik warung kopi di belakang kampus yang biasa kita jadikan tempat nongkrong di sana ya. Apakah masih buka? Kalaupun buka apakah ada mahasiswa yang ngopi, kampusnya juga libur, anak kos pada pulang kampung.” 

Aktifitas belajar-mengajar pun dilakukan melalui dalam jaringan (daring). Ironisnya lagi, dengan pertanyaan lebih lanjut, “bagaimana cara pemilik warung tersebut menutup cicilan kredit modal usahanya yang begitu besar.”  

Pemilik warung kopi di atas baru sepenggal cerita atas dampak Covid-19 di sektor ekonomi. Ada banyak cerita sama, yang justru lebih ironi daripada kasus pemilik kedai kopi di atas. Yang pasti, kita sepakat bahwa pandemi ini telah meluluhlantahkan perekonomian global. 

Bagi umat Islam, wabah ini adalah ujian. Bukan musibah. Kita mesti menyikapinya dengan kesabaran. Tidak dengan mengungkapkan kemarahan dan kutukan. 

Dalam hal ini, dimensi kesabaran juga tidak diartikan dengan kepasrahan dan kecerobohan. Cara bersabar umat Islam dalam menghadapi Covid-19 adalah memaknainya sebagai tindakan pencegahan, yaitu meneladani anjuran pemerintah untuk bekerja, belajar dan beribadah di rumah. 

Ramadhan adalah bulan suci umat Islam yang biasanya banyak orang meramaikannya dengan sholat tarawih berjamaah, tadurrus di masjid, dan berbagai aktivitas sosial keagamaan yang dilakukan bersama-sama. Namun, karena wabah ini semakin merajalela, mudah sekali menginfeksi orang-orang yang berkerumun, sehingga oleh pemerintah masyarakat dihimbau untuk berjamaah dan melaksanakan kegiatan sosial yang melibatkan banyak orang. 

Himbauan ini hanya berlaku sementara waktu. Jika serangan Covid-19 ini sudah usai, tidak lagi menjadi ancaman, dan situasi kondusif kembali, maka umat Islam tentu tidak akan dilarang untuk beribadah di masjid dan melaksanakan kegiatan sosial keagamaan seperti biasanya. 

Ramadhan tahun ini, bisa tetap kita rayakan dengan bentuk yang lain, misalnya tadarrus di rumah, tarawih dengan keluarga, bahkan i’tikaf di rumah saja. Dengan demikian, Ramadhan tahun ini akan tetap terasa menjadi berkah. 

Pesantren Moral

Ramadhan kali ini bisa kita ambil spiritnya dengan menjadikannya sebagai pesantren moral. Secara umum, pesantren diartikan sebagai tempat tinggal yang dihuni oleh para santri untuk memperlajari ilmu-ilmu agama dengan segala unsurnya (M. Dawam: 2004). Namun, dalam perkembangannya, saat ini pesantren tidak melulu mengajarkan ilmu-ilmu agama melainkan juga ilmu-ilmu umum. 

Nah, pesantren di sini bukan diartikan dalam kerangka yang klasik itu. Pesantren moral ini bermakna luas dengan mengorientasikan umat Islam supaya lebih sabar menghadapi ujian besar ini. Namun, kesabaran itu bukan berarti disikapi secara pasrah, menyerah dan berdiam diri di rumah tanpa mengerjakan sesuatupun. Bukan begitu, pesantren moral ini menuntut umat untuk tetap bekerja, beribadah dan berkarya. 

Lazimnya, pesantren moral ini juga bermaksud membuat rancangan besar yang menjadikan masyarakat sebagai entitas terpenting di dalamnya. Praktisnya, pesantren ini diartikan sebagai jalan upaya membuka kesadaran masyarakat supaya peduli terhadap lingkungan sekitar, khususnya mereka yang terdampak ekonomi akibat Covid-19. 

Tujuan utamanya tidak lain untuk membentengi masyarakat dari kekhawatiran yang berlebihan atas dampak wabah ini. Sebab, sebagaimana sejumlah pengamat ekonomi kemukakan, jika wabah ini tak berhenti selama lebih dari tiga bulan, maka sangat mungkin dampak perekonomian dalam negeri akan terjun bebas. Krisis terjadi dan mengancam ketahanan pangan nasional. 

Pesantren moral adalah sebuah bingkai komunitas yang mempunyai karakter tegas sebagai cerminan masyarakat yang produktif. Ia mempunyai pandangan umum bahwa sebuah peradaban yang maju dapat diraih dengan kejujuran dan sumber daya manusia yang berkualitas.

Namun, keberadaan pesantren moral ini berbeda dengan pesantren lain pada umumnya. Tidak harus terkungkung oleh atap-atap asrama yang membentengi, harus memakai peci setiap waktu, serta menerapkan banyak paraturan yang harus dituruti oleh santri. Tetapi, penerapannya lebih melibatkan masyarakat umum sebagai pengontrol setiap tindakan masyarakat itu sendiri supaya berprilaku terpuji dan menjadikannya sebagai tanggungjawab moral bersama.

Memang dalam perbincangan nilai-nilai moralitas, tidak ada ukuran pasti. Sebab nilai moral adalah persoalan yang bersifat subyektif, yang beraras pada pandangan masing-masing individu. Namun, dalam hidup bermasyarakat dan beragama tentu memerlukan pengakuan satu sama lain, sehingga segala prilakunya tidak membuat orang lain terganggu. 

Maka, pada kedatangan bulan suci ini, diharapkan mampu menjadi spirit perjuangan bagi bangsa ini, khususnya umat Islam, untuk melawan Covid-19. Kita tidak ingin wabah ini terus meluas dan menjalar banyak orang. Himbauan pemerintah untuk tetap di rumah dan menjaga jarak dengan orang lain hendaknya dipatuhi dengan baik agar virus ini segera pergi. Semoga Ramadhan tahun ini tetap menjadi rahmat bagi umat Islam dan umat manusia secara umum.

Oleh: Nafik Muthohirin

Dosen Fakultas Agama Islam, Sekretaris Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang