SHARE

Sebagai bangsa besar, Jokowi pembelajaran paling jitu yang harus terus dihidupkan dalam benak memori kolektif berbangsa.

Menjiwai Kearifan

Jokowi sepertinya anugerah bangsa, ditangani baik eranya hal-hal yang mayoritas anak-anak muda kekinian menilai permasalahan besar, dan mendasar. Memberantas korupsi, menaikkan kualitas hidup masyarakat, meningkatkan standar kualitas pendidikan, layanan kesehatan, menyediakan lapangan kerja, peduli lingkungan dan berkolaborasi internasional.

Jokowi pembuat teamwork yang baik, tetapi di tebas, tidak tebang pilih dan tidak pandang bulu kepada siapapun penjahat rasuah. Dibuat atau dikembangkannya e-katalog sebagai aplikator transparansi belanja jual, beli kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah. Dan hingga kini sudah secara bertahap masuk menggunakan e-katalog. Dampak e-katalog ini yang membuat berkurang atau menurun drastisnya Operasi Tangkap Tangan KPK, meski indeks persepsi korupsi masih tinggi, itu hal lain.

Terlepas penasaran bertanya, Jokowi saat itu sebagai ketua asosiasi mebel, diakuisisi kader partai ketika sudah menjadi tokoh?. Menengok kembali rute perjalanan panjang pengabdiannya sangat-sangat fenomenal, mulai merintis hingga naik panggung politik tahun 2005. Siapa sangka Jokowi yang anggap remeh justru menjadi walikota, dari walikota menjadi gubernur, dari gubernur menjadi presiden, dan win streak tanpa kekalahan, menang dua periode. Tukang mebel yang menyabet penghargaan sebagai 10 toko pilihan dari tempo.

Hampir sempurna, keberkahan pasca reformasi, sosoknyalah yang benar-benar diharapkan, dirindukan kehadirannya karena dipercaya juruselamat Indonesia dari bayang-bayang kelam masa lalu. Pemimpin yang bersih, politik baginya merupakan instrumen memajukan peradaban. Mengelola kekuasaan dengan prinsip kebajikan, dan keberpihak publik menjadi ukuran dari kualitas sebuah keputusan. Jokowi memformulasikan secara baik konsep Niccolo bahwa dengan kebajikan pemimpin negara modern dapat dicapai.

Pada sebuah sesi wawancara, seorang teman dimintai pandangan jujurnya tentang sosok Jokowi. Dia menyebut Jokowi adalah orang yang bisa menjadi inspirasi, dedikasinya dalam bekerja yang luar biasa, komitmen untuk delivery atas apa harapan rakyat.

Dipraktikkannya nilai-nilai kepemimpinan yang tertuang dalam naskah kuno, Kamandaka Nitipraja. Yang memuat tentang laku seorang pemimpin yang tegas, bijaksana, ksatria mengambil langkah-langkah yang tepat dan tidak ragu-ragu demi negara. Apa yang dilakukannya adalah national building seperti pula cita-cita para pendiri bangsa. Bayangkan sejak kolonial sudah tak terhitung aset negara yang jatuh ke tangan asing.

Berkat tangan dinginnya aset negara yang dikuasai asing selama ini berhasil di kembalinya ke pangkuan ibu pertiwi, diantaranya beberapa aset tambang raksasa yang mampu direbut ada Freeport, Blok Rokan, Blok Mahakam, serta Newmont. Indonesia haruslah berbangga diri memiliki Jokowi, beruntung kita memilikinya.

Hampir tak ada dalam literatur apapun kekuasaan yang begitu kuat, Jokowi pemimpin yang sangat dicintai rakyatnya, kecintaan republic, approval rating per hari berada di angka 89%. Tingkat kepuasan publik pada kinerjanya 80%, tertinggi diantara pemimpin di dunia.

Meski begitu pada lain sisi, Jokowi tak lepas menerima banyak kritikan, tuduhan-tuduhan, hinaan, makian, dan insinuansi-insinuansi sumir terhadap dirinya. Kita bisa bayangkan, dan rasakan betapa tidak nyamannya dihujat, difitnah, dicela, tanpa dasar.

Jokowi yang dulu dan sekarang tidak ada yang berubah, sama saja Jokowi adalah kita seperti pada saat 2014 silam. Tetap santun, sederhana, dan idealis. Tidak pernah terlihat marah-marah. Jokowi hanya diam, tidak ada tanda-tanda gelagat melakukan "tindakan penaklukan" terhadap wilayah-wilayah demokrasi-kerakyatan. Wajah ‘ndeso’, memang sama sekali tidak ada potongan diktator, otoriter, eksesif dan atau hegemonik terhadap rakyat, negara melakukan tindakan represif, tirani, intimidatif. Dapat dibayangkan bila ini terjadi pada era yang menakutkan orde lama-orde baru.

Presiden Soeharto yang berkuasa 32 tahun lamanya, penguasa yang begitu kuat jatuh tumbang tiba-tiba akibat krisis kepercayaan (social movement) yang ditandai bubble economy. Boleh saja pakar politik menyebut Jokowi menyamai kuatnya Soeharto, hanya bedanya antara presiden Indonesia yang lainnya, meski secara teori atau konseptual jabatan politik di akhir kuasanya akan terjadi lame duck, atau powernya kian lemah mengempis tidak memiliki pengaruh. Jokowi sangat tangguh, dicintai rakyat, approval rating tinggi.

Tak berlaku konsep kekuasaan “aku adalah negara” atau raja-raja dahulu, “aku adalah titisan dewa di muka bumi” dari Louis XIV. Penyimpangan dari norma demokrasi, pandangan mitos mengukuhkan diri presiden berdasarkan filosofi pandito. Tradisi jawa kuno yang mempropagandakan idiom-idiom sebagai “pemimpin besar revolusi”, “tuan presiden yang agung”. Di koreksinya secara total pola-pola atau gaya-gaya kekuasaan lama yang totaliter, pemutaran roda kekuasaan yang didominasi pendekatan keamanan (security approach) menempatkan militer di garda terdepan.

Jokowi sosok yang rapopo, kekuasaan untuk rakyat, turun ke bawah blusukan. Relasi kedekatannya dengan masyarakat seakan tidak ada sekat, langsung menyentuh badan bertemu. Datang ke Nguga, daerah yang selama bangsa merdeka, silih berganti presiden yang saat kampanye bicara yang manis-manis, bicara hebat tentang keindonesiaan namun tidak pernah menginjakkan kaki di daratan paling rawan, dan berbahaya tersebut. Baru presiden Jokowi yang mau-maunya membungkukkan badan beri hormat dengan para pedagang pasar, dengan petani dan penyuluh mendatangi dan merasakan langsung suasana desa.

Demokrasi di kembalikan ke koridornya, Jokowi paling irit bicara, tidak pandai silat lidah seperti politisi ulung lazimnya, bukan pula orator, ia hanya tahunya kerja, kerja, dan kerja. Tetapi begitu tak berkelit kendati dikepung para kritikus, segemuk apapun oposisi.

Punya nyali berhadap-hadapan melawan elite teknokrat yang punya segalanya. Dan jangan diuji keberaniannya, karena dianggap sarang mafia migas Petral saja dibubarkan, termasuk menggebuk ormas radikal yang melenceng dari ideologi negara. Sebaliknya tak luput, dicetus hari santri, sebagai bentuk perhatian dan penghargaannya kepada warga atau suatu kelompok organisasi atas aksi kemanusiaan serta kontribusinya menjaga NKRI.

Jokowi berpegang pada prinsip nilai politik yang penuh kebaikan dan kemuliaan. Ia memenuhi syarat mustahil menjadi manusia murni, tak hanya meniru laku bijaksana, ketulusannya menyulam harapan tidak ada yang beda tatkala dalam sorot mata kamera, depan dan belakang panggung, atau ruang-ruang tertutup hadirkan politik kualitas “walk the talk”, mengerjakan apa yang diucapkan.

Karena tahu betul kemujuran nilai politik yang seakan tidak punya lagi kemewahan lantaran sulit membedakan antara kejujuran dan kemunafikan. Diruntuhkannya tradisi buruk politik inkonsistensi, politik yang cap isinya hanya dusta, kepura-puraan what you see is what you get, politik penuh corak warna kemunafikan.

Halaman :
Tags
SHARE